Halo semua, ini merupakan materi lanjutan Dasar-Dasar Perpajakan pada posting sebelumnya. Tanpa basa-basi silahkan dibaca :)
SYARAT PEMUNGUTAN PAJAK
Dalam hal pemungutan pajak, harus sesuai dengan syarat berikut ini :
1. Pemungutan pajak harus adil (syarat keadilan)
Sesuai dengan tujuan hukum, yakni mencapai keadilan, Undang-Undang dan pelaksanaan pemungutan harus adil. Adil dalam perundang-undangan diantaranya mengenakan pajak secara umum dan merata, serta disesuaikan dengan kemampuan masing-masing. Sedang adil dalam pelaksanaannya yakni dengan memberikan hak bagi Wajib Pajak untuk mengajukan keberatan, penundaan dalam pembayaran dan mengajukan banding kepada Majelis Pertimbangan Pajak.
2. Pemungutan pajak harus berdasarkan Undang-Undang (syarat yuridis)
Di indonesia, pajak diatur dalam UUD 1945 Pasal 23 Ayat 2. Hal ini memberikan jaminan hukum untuk menyatakan keadilan, baik bagi negara maupun warganya.
3. Tidak mengganggu perekonomian (syarat ekonomis)
Pemungutan pajak yang merupakan penyerapan sebagian sumber daya dari masyarakat tidak boleh menganggu kelancaran kegiatan produksi maupun perdagangan, sehingga tidak menimbulkan kelesuan perekonomian masyarakat.
4. Pemungutan pajak harus efisien (syarat finansial)
Sesuai fungsi budgetair, biaya pemungutan pajak harus dapat ditekan sehingga lebih rendah dari hasil pemungutannya.
5. Sistem pemungutan pajak harus sederhana
Sistem pemungutan pajak yang sederhana akan memudahkan dan mendorong masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Syarat ini telah dipenuhi oleh Undang-Undang perpajakan yang baru.
TATA CARA PEMUNGUTAN PAJAK
Pemungutan pajak dilakukan dengan tiga stelel pajak :
a. Stelsel nyata (riil stelsel)
Pengenaan pajak didasarkan pada objek (penghasilan yang nyata), sehingga pemungutannya baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak, yakni setelah penghasilan yang sesungguhnya diketahui. Stelsel nyata mempunyai kelebihan dan kekurangan. Kelebihan stelsel ini adalah pajak yang dikenakan lebih realistis. Sedangkan, kelemahannya adalah pajak baru dapat dikenakan pada akhir periode (setelah penghasilan riil diketahui)
b. Stelsel anggapan (fictieve stelsel)
Penggenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh Undang-Undang. Misalnya, penghasilan suatu tahun dianggap sama dengan tahun sebelumnya, sehingga pada awal tahun pajak sudah dapat ditetapkan besarnya pajak yang terutang untuk tahun pajak berjalan. Kebaikan stelsel ini adalah pajak dapat dibayar selama tahun berjalan, tanpa harus menunggu pada akhir tahun. Sedangkan kelemahannya adalah pajak yang dibayar tidak berdasarkan pada keadaan yang sesungguhnya.
c. Stelsel campuran
Stelsel ini merupakan kombinasi antara stelsel nyata dan stelsel anggapan. Pada awal tahun, besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu anggapan, kemudian pada akhir tahun besarnya pajak disesuaikan dengan keadaan sebenarnya. Bila besarnya pajak menurut kenyataan lebih besar dari pada pajak menurut anggapan, maka Wajib pajak harus menambah. Sebaliknya, jika lebih kecil kelebihannya dapat diminta kembali.
Sistem Pemungutan Pajak
a. Official Assessment System
Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.
Ciri-cirinya:
1) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada fiskus
2) Wajib Pajak bersifat pasif
3) Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus
b. Semiself Assessment System
Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang pada fiskus dan Wajib Pajak untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.
c. Self Assessment System
Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada Wajib Pajak untuk menentukan sendiri besrnyan yang terutang
Ciri-cirinya:
1) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada Wajib Pajak sendiri.
2) Wajib Pajak aktif, mulai dari menghitung, memperhitungkan, menyetor dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang terutang
3) Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi
d. With Holding System
Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan Wajib Pajak yang bersangkutan) untuk menetukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.
Ciri-cirinya: wewenang menentukan besarnya pajak yang terutang ada pihak ketiga, pihak selain fiskus dan Wajib Pajak.
PENGELOMPOKAN PAJAK
1. Menurut Golongannya
a. Pajak Langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh Wajib Pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain.
Contoh: Pajak Penghasilan
b. Pajak Tidak Langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain.
Contoh: Pajak Pertambahan Nilai
2. Menurut Sifatnya
a. Pajak Subjektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak.
Contoh: Pajak Penghasilan
b. Pajak Objektif, yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak.
Contoh: Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
3. Menurut Lembaga Pemungutannya
a. Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara.
Contoh: Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan dan Bea Materai.
b. Pajak Daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah.
Pajak daerah terdiri atas:
· Pajak Daerah Tk.I (propinsi), contoh: Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan diatas Air, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan diatas Air, dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor.
· Pajak Daerah Tk.II (kotamadya/kabupaten), contoh: Pajak Pembangunan I, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Hotel, Pajak Hiburan, dan Pajak Bangsa Asing.
TARIF PAJAK
Tarif pajak dikelompokkan menjadi empat macam :
1. Tarif Sebanding/Proporsional
Tarif berupa presentase yang tetap, terhadap berapapun jumlah yang dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang terutang proporsional terhadap besarnya nilai yang dikenai pajak.
Contoh: untuk penyerahan Barang Kena Pajak didalam daerah Pabean akan dikenakan Pajak Pertambahan Nilai sebesar 10%.
2. Tarif Tetap
Tarif berupa jumlah yang tetap (sama) terhadap berapapun jumlah yang dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang terutang tetap.
Contoh: Bea Meterai, nominalnya tetap 3000 atau 6000 dan tidak ada tarif berupa persentase untuk pajak bea materai.
3. Tarif Progresif
Persentasi tarif yang digunakan semakin besar bila jumlah yang dikenai pajak semakin besar.
Contoh: Pasal 17 UU PPh No 36 Tahun 2008
Lapisan Penghasilan Kena Pajak
· Sampai dengan Rp 50.000.000,00 tarif pajaknya 5%
· Diatas Rp 50.000.000,00 – Rp 25.000.000,00 tarif pajaknya 15%
· Diatas Rp 250.000.000,00 - Rp 500.000.000,00 tarif pajaknya 25%
· Diatas Rp 500.000.000,00 tarif pajaknya 30%
Menurut kenaikan persentasi tarifnya, tarif progresif dibagi:
a. Tarif progresif-progresif: kenaikan persentasi semakin besar (Pasal 17 UU PPh No 36 Tahun 2008)
b. Tarif progresif tetap: kenaikan persentasi tetap
c. Tarif progresif degresif: kenaikan presentasi semakin kecil
4. Tarif Degresif
Tarif Degresif adalah tarif pajak yang persentasenya semakin kecil apabila Dasar Pengenaan Pajaknya menurun. Pada prakteknya, Undang-Undang Perpajakan di Negara Indonesia tidak pernah menggunakan tarif degresif.
PERLAWANAN PAJAK
Perlawanan terhadap pemungutan pajak dapat dikelompokkan menjadi:
1. Perlawanan pasif
Masyarakat enggan (pasif) membayar pajak, yang dapat disebabkan antara lain:
a. Perkembangan intelektual dan moral masyarakat
b. Sistem perpajakan yang mungkin sulit dipahami masyarakat
c. Sistem kontrol tidak dapat dilakukan atau dilaksanakan dengan baik
2. Perlawanan aktif
Perlawanan aktif meliputi semua usaha dan perbuatan yang secara langsung ditujukan kepada fiskus dengan tujuan untuk menghindari pajak. Bentuknya antara lain:
a. Tax avoidance, usaha meringankan beban pajak dengan tidak melanggar Undang-Undang Perpajakan yang berlaku.
b. Tax evasion, usaha merinagnkan beban pajak dengan cara yang melanggar Undang-Undang Perpajakan yang berlaku (menggelapkan pajak).